Tak biasanya, langit yang megah itu mengintimidasi perasaanku. Awan yang biru, kini nampak kerdil karena kuasaNYA. Mentari dari peraduannyapun dengan perkasa menguras keringatku siang itu. Ribuan mata yang nampak lelah berlomba-lomba memfokuskan pandangannya, mencoba mengecilkan kelopak matanya guna menghindar dari pantauan sang Mentari kala itu. “Huh, panas sekali siang ini, Tuhaaaaaaaaaannnn….”, protesku padaNYA.
Sebut saja namaku Choky, begitulah orang-orang memanggilku. Entah apa alasan mereka memanggilku dengan nama yang dimiliki presenter kondang, yang wajah tampannya selalu menghiasi dihampir semua program TV negeri ini. “Hmmm, masa iya sih gue mirip sama tuh artis??? Atau, mereka pada keliru kali ya??? Bodo amat ah, yang penting muka gue gak dimirip-miripin sama orang jelek hahahaha….”, celotehku dalam hati disaat orang-orang memanggilku dengan sebutan “Choky Sitohang”.
Kini, aku tengah menepi di salah satu halte bis TransJakarta, tepatnya di HARMONI. Antrian panjang bandit-bandit Ibu kota memaksaku untuk bersabar menunggu bis berikutnya yang siap mengantarku menuju Blok-M, yaitu salah satu terminal kenamaan yang dimiliki ex-Bhatavia alias Jakarta. Badanku sudah remuk, dengan sisa tenaga yang terkuras setelah seharian melancong bersama teman-teman kampusku kala itu. Aku mencoba untuk lebih cekatan memburu bis bernomor 510 arah Kp. Rambutan-Ciputat, yaitu bis berwarna hijau dengan segaris warna kuning dibadannya yang siap mengantarku pulang, ketempat dimana aku menuntut ilmu, Tangsel-BANTEN. “Bang…Baaang…Baaang…Stoooppp!!!…”, teriakku pada kendektur bis yang tangannya nampak lincah melambai-lambai calon penumpang dari kejauhan. “Ayo Mas Naik!!!…”, balasnya singkat. “Huuuhhh, akhirnya perjalanan panjang ini akan segega berakhir. Huuuaaaammmm….ngantukkk…nyaaa….”, celotehku sebelum terlelap di bis tua siang itu.
Entah kenapa kesialanku siang itu belum juga usai. Disaat mataku hendak terlelap, teriakan kendektur bis tua itu memenuhi ruang telingaku “Digeser…digeserrr…digeseeerrr!!!…Mas…Mass…Maaasss…tolong Maaasss….Mbaknya kasih duduk…”, begitulah kurang lebih kutipan dari teriakan mengganggu kendektur bis yang aku tumpangi kala itu. “Cepetaaannn!!!…kasihan Mbak-nya Maaasss….”, teriaknya lagi seraya membulatkan bola matanya kearahku. “Iya Baaangngng…Sabar kaliii….Huuuhhh, gak tahu apa gua juga lagi capek banget…”, kesalku pada kendektur itu dan segera berdiri sambil mempersilahkan penumpang akhwat itu untuk duduk. “Silahkan duduk, Neng!…”, celotehku pada gadis yang belum sempat aku tengok wajahnya. “Terima kasih Mas, Maaf ya…”, jawab gadis itu dengan sopannya.
Mendengar suara lembutnya, entah kenapa rasa capek, ngantuk, dan kesal yang sedari tadi menguasaiku, spontan menghilang. Gadis berjilbab dengan minyak wanginya yang khas mengingatkanku pada sosok akhwat yang pernah menghiasi hari-hariku semasa SMP. “Zahra???…”, ucapku spontan. “Iyaaa???”, jawab gadis itu keheranan seraya menengok kearahku. “Hmmm, maaf Mas, tadi manggil saya???”, tanya gadis itu padaku “Mmmmhhh…iya…iya…maaf…ma…af…Mba…kk…eeeh.. Enn..neng…saya kira eneng itu teman SMP saya…Hmmm, suara dan minyak wanginya eneng sama dengan minyak wangi yang biasa dipake sama…sama..hemmm…samaaa….”, jelasku sedikit terbata-bata. “Sama Pacarnya Mas ya???…”, tanya gadis itu mengagetkanku “Eeehhh…hemmmm…ii..iiyyaa…iyaa…Neng…hehehe…”, jawabku sedikit malu. “Tapi, tunggu…tunggu!!!…hemmm…kayanya Mas-nya juga mengingatkanku sama teman SMP-ku juga lho…kalau gak salah namanya itu ehmmm…A…aa…app…app…”, gadis itu berusaha mengingat kenangannnya. “Apiep, maksudnya Neng???…”, jawabku sekenanya. “Apiep???…hemmm…iya…iya..betul…Apiep… namanya. Kok Mas bisa tahu ya???…hmmm…”, jawab gadis itu sedikit heran dan spontan memfokuskan mata indahnya kearahku. “Hemmm…jangan…jangan…kamu Apiep ya???”, tanya gadis itu penuh percaya diri. “Masya Allohhh…kok bisa ya kita ketemu di bis ini hahaha…”, lanjut gadis itu setelah memburu anggukan kepalaku. “Pip, kamu ingat gak waktu kita makan bakso di rumah baksonya Mpok Inem??? terus, aku tuangin sambal yang banyak ke mangkuk baksomu, ingatkan???”, lanjut gadis itu lagi seraya meyakinkanku kalau dia adalah gadis yang selama ini aku kangenin. “Aku Zahra Fitriani, Piiippp…Wah, ternyata kamu masih mengenalku dengan sagat baik ya! sampai-sampai wangi parfumku saja kamu masih mengenalnya, aku kangeeennn….”, jelas gadis itu panjang lebar sambil mencubit mesra tangan kiriku berkali-kali. “Eiiitttt…udah…udahh…dong Zahra! sakit banget nih…iya…iya…aku ingat semuanya. Malah waktu itu aku kepedesan dan meler-meler gitu kan hahaha….”, tempasku tak kalah hebohnya. “Kok kamu gak ada kabar sih Pip seletah perpisahan SMP kita dulu??? aku kangen tahuuu….”, celoteh Zahra lagi. “Iya Zahra aku juga sama. Dulu, hapeku hilang Zahra, jadi aku gak tahu mesti cari kabarmu kemana?…Hemmm, main ke rumahmu, kamunya sudah tidak ada, katanya, kamu lanjutin sekolahmu di Bandung ya???…”, jelasku lagi. “Iya Pip….Hemmmhhh, tahu gak aku sempat marah lho sama kamu. Aku pikir, kamu udah gak sayang lagi sama aku. Gak ada kabar, gak ada SMS, bahkan telepon juga gak ada, Huuhhh…”, keluhnya lagi padaku. “Iya maaf…maaf…Tapi, sekarang kita ketemu lagi kan??? itu artinya kita berjodoh hehehehe…”, gurauku padanya. “Iya Piiippp heheheh….Kok, kamu gantengan sih sekarang???…”, puji Zahra padaku. “Iya dong, Apiep gitu Lhooo…Makanya dulu Zahra jatuh hati sma Apiep hahahah….”, balasku dengan nakalnya. “Iiiihhh apa siiiiihhh…”, tempasnya sedikit malu.
Tak terasa pertemuan yang sangat indah itu harus segera berakhir. Obrolan panjang yang semakin hangatpun harus berhenti dengan satu kalimat seorang kendektur dekil dan rese itu, Hemmm. “UIN Jakarta, Neng!…”. Yah, ternyata Zahra Fitriani alias Zahra my Pretty Girl itu terdaftar sebagai mahasiswi di Universitas Islam Negeri Jakarta semester 7, tepatnya dia mengambil jurusan Tarbiyah. “Pip, ini kartu namaku! nanti hubungi aku via nomor yang tertera disana ya!…Assalamualaiku…Bye….”, celoteh terakhir Zahra sambil menitipkan kartu namanya padaku sebelum wajah Ayunya menghilang dari pandanganku.
Dari pertemuan itu, Silaturahimku terjalin lagi dengannya, dengan Cinta lamaku yang bersemi di Bis 510 “hahahaha…Cinta itu emang tak mengenal waktu….tak mengenal tempat. Selagi Tuhan menghendaki, Anugerah terindah itu bisa terjadi begiti saja. Sekalipun, di atas Bis 510 yang super panas, super berisik, super kotor, dan supeeeerrrr sesaaaakkkk. Tapi bagiku, waktu itu adalah keindahan yang sangat LUAR BIASA, hahahah…CINTA…CINTA…, huh…misteri…”
By: @apip_ON