VALENTINO STOPPED “RIDING” HIS DAYS IN KM 13

motor

Denyut jantungku tiba-tiba melaju bak di arena, hiruk pikuk bandit-bandit ibu kota serentak terhenti, mengalihkan pandangannya pada sang Legenda. Ya, tepat di 13 April 2017, sang Komando menyuarakan “kebencian” padaku, meruntuhkan harapan dan mewarnai sisa hariku di bulan ke Empat ini dengan nyanyian melankolisnya yang siap mengantarkan sang idola ke gerbang keterpurukan yang tak berkesudahan. Ah, sudahlah, aku gak apa-apa…” jawabku. Dari setiap pasang mata yang menyaksikan kesusahanku kala itu, aku menangkap ada pesan yang hendak disampaikan, “iya terima kasih, aku gak apa-apa, kawan!”, jawabku lagi

Dari langit yang selalu gelap setiap harinya, aku belajar tersenyum walau tak banyak warna-warni yang menghiasi pekatnya. Dari hujan yang selalu ramai melengkapi jiwa-jiwa yang sepi, aku belajar ikhlas walau jiwaku sedikit trauma menjadi melankolis. Dari terik yang membakar kulit sawo matangku, aku belajar bertahan walau sakit yang dirasa tak mampu hilang, walau sebentar. Dari tempat ini, mereka mengenalku dengan sebutan -VALENTINO-. “Bro, yang kuat ya! Gua yakin lu bakal lebih sukses di luaran sana!” pesan yang syarat motivasi menimpali setiap diamku kala itu. “Thanks…”, lirihku singkat.

Orang tua dan keluarga besarku masih tergambar bahagia di nodus normalku, dari tempat yang sangat jauh, aku selalu menitipkan mereka padaNYA, pada DZAT yang Tunggal, DZAT yang Maha Akbar, DIA lah Sang Pencipta, yang selalu mendengar doa-doa khusukku di kala tahajudNYA tiba. Dari semangat yang masih tersisa, aku memaksimalkan segala tenaga menjadi pribadiku yang kuat, tak kalah walau arenaku sudah digantikan sama yang lain, “kamu bisa, Valen!”, semangatku pada sosok Valentino yang tengah berduka.

Aku berjalan lunglai ditepian sepi yang entah dimana batasnya, aku merasakan sesak walau topengku masih bersemangat menyapa mereka yang tengah iba karena takdirku, “iya, aku tak kecewa, kawan…”, lirihku lagi disaat ribuan pasang mata masih berlinang melepas kisahku kala itu. Gelap duniaku tak terbantahkan, Jakarta yang menjadi tumpuan banyak orang, ternyata memang sulit ditaklukan. Aku adalah salah satu korban dari bengisnya ibu kota, terlempar dari arenaku, menjauh sampai nama besarku tak lagi mampu dikenang, “Yah, aku hilang bersama jiwaku…aku menyerah setelah arenaku tak lagi ku kenali, maaf Valentino! Aku tak bisa menjaga nama besarmu. Aku pamit…dan mungkin tak akan kembali”. Pesan singkatku pada sang Legenda, The Valentino from Smesco.

Berdiam diri, mungkin adalah pilihanku waktu itu, menikmati setiap perih di dada, dan menyaksikan semua episode dari kisahku. Yah, aku benar-benar sudah membeku, menjadi batu, menjadi beban dari langkah panjangku yang mulai pincang. “Valentino, adalah kisah dari jelamaan idola yang menerima karma dari jiwaku yang selalu berdusta. Menelan kekalahan dari jiwaku yang selalu kalah. Menerima malu karena sikapku yang tak mampu mengasuh nama besarnya. Ah, aku menyerah tak mampu berlari kencang seperti halnya, VALENTINO ROSSI. Ah, aku menyakiti semuanya. Ah, aku mengecewakan semuanya. Aku kalah, aku benar-benar kalah. Huuuhhh…”, sesalku waktu itu. “Namun, walau namamu tak lagi menyatu bersama jiwaku. Ketahuilah, bahwa jutaan penggemar dari belahan dunia lain sudah mencatat gelar dan karya-karya besarmu. Mereka mengidolakan sikapmu yang mampu menaklukan sepi, selalu semangat menjadi JUARA guna menaklukan setiap arena yang jauh lebih berliku. Karena diriku, you stopped riding your days in KM 13. More, thankyou for being my days, Valentino….”  Celoteh lepasku guna mengakhiri RACE ku tepat di KM 13 kala itu. Huh, Valentino…Valentino…

Leave a comment