Selamat Jalan, Aki…

Posted in Uncategorized on June 21, 2021 by budaksabar

Sabtu, 29 Mei 2021, tepatnya pada 17 Syawal 1442 Hijriah, suasana pagi di kampung halamanku masih sama seperti biasanya, masih segar dengan udara paginya, dan masih cerah dengan langit birunya yang menawan, bahkan riuh suara burung-burung kecil dari pepohonan rindang sekitar rumahku turut hadir waktu itu. Namun, dari suasana damai pagi itu, tepatnya, pada jam 09 pagi, tiba-tiba suasananya berubah, terusik dengan teriakan kakak perempuanku yang menjerit sekuat yang dia bisa. Yah, bapakku, lelaki tangguh berusia 76 tahun terjatuh dari sofa kesayangannya secara tiba-tiba, “Ya…Allaaaahhh…Akiiii!!!”, teriak kakakku memecahkan keheningan. Aku tidak begitu mengerti kondisi waktu itu, karena hampir 1 bulan lamanya, aku hanya mampu terbaring ditempat tidur karena sebuah penyakit yang tidak tahu apa namanya sampai sekarang. Benar, aku paling takut buat berobat, apa lagi harus menikmati butiran-butiran besar penawar sakit dari dokter, yah, aku pasti menolaknya. Aku memilih berobat secara teradisional, dan memilih penawar manjur dari lantunan doa-doa bapakku.

                Masih di pagi itu, tiba-tiba, aku mendengar suara tangis saudara-saudaraku pecah, memenuhi setiap ruang rumahku, berteriak dengan sedu-sedannya yang semakin menjadi, terasa pilu, memanggil satu nama yang tentunya tak asing bagiku, AKI (Panggilan Akrab Bapakku). Nampak di ruang keluarga, Aki sudah terbaring di atas kasur berwarna merah dengan bed cover motif bunga-bunga. Disana, aku melihat Aki nampak tak berdaya, dengan mata senjanya yang terlihat kosong, memandangi seluruh wajah yang menangisinya, seperti asing, seperti tak mengenal kami waktu itu. Benar, seperti anak baru di sebuah Lembaga Pendidikan, satu persatu kami mengenalkan nama yang sejatinya nama pemberian Aki sendiri. Tapi, dia masih saja nampak tak bergeming, terlihat bingung dengan kondisinya waktu itu. Disini, aku mulai mendengar lantunan doa dari setiap jeda tangis kakak-kakaku, yah, kami bersatu, saling menguatkan.

                Kondisi Aki tak banyak berubah, dia masih memandang dengan tatapan kosong, dan bibir rentanya yang selalu penuh dengan doa-doa, kini, hanya menganga, tak mampu mengucapkan satu katapun. Dari samping kanan dan kiri bapakku nampak kakak pertama dan keduaku meraih kedua tangan bapakku yang semakin melemah, Ibuku yang akrab dipanggil Nenek, juga turut ada disampingnya, dia terus memanggil nama “AKI” seraya memeluk, mencium, dan menguatkan bapakku sambil berurai air mata yang mendalam. Benar saja, pikiran liarku mulai menerka hal-hal yang tidak mau aku tahu, memaksa setiap sendi-sendi kaku ditubuhku bergerak, mendekat, dan turut menangis melihat kondisi bapakku yang sangat menghawatirkan waktu itu. Aku benar-benar merasakan kesedihan itu, merasakan kekhawatiran, kecemasan, dan hal-hal buruk lainnya, yang juga dirasakan saudara-saudaraku kala itu.

               Dari depan pintu kamar ibuku yang terbuka, nampak kakakku yang lainnya sibuk berbicara dengan seseorang diujung telepon miliknya, suaranya terdengar parau, dan sedikit terbata-bata. Yah, aku yakin dia lagi mengabarkan kondisi Bapakku pada kakak perempuanku yang tinggal di lain provinsi, dia menangis dengan nada suaranya yang terdengar semakin menyedihkan. Sesekali, dia seka air matanya yang hadir, dan berusaha kuat guna menghubungi saudara lainnya yang ada di kota lain, “Akiii….Akiiii tak sadarkan diri….Aki jatuuuhhh..ayo pulaaang…”, suara kakak saat mengabari kondisi Bapakku pada si Bungsu yang jauh di “Negeri Orang”. Ah, aku benar-benar benci dengan kondisiku waktu itu, tak berdaya, tak mampu berbuat banyak karena sakitku, “Tuhan, kenapa Engkau uji kami dengan ini?”, protes nakalku padaNYA.

                Di 30 Mei 2021, Tuhan tengah menjawab ratapan setiap doa dari kedelapan putra putrinya beserta ratapan doa khusu dari wanita yang selama kurang lebih 58 tahun menemani hari-harinya. Dengan mengucap syukur yang tak bertepi padaNYA, kami sambut cerianya Aki pagi itu dengan senyum yang penuh semangat. Yah, Aki kembali pulih, mampu berkomunikasi walau suara khasnya masih terdengar sangat kecil, bahkan cendrung tak terdengar sama sekali. Nenek, sebutan akrab ibuku, sungguh telaten menyuapi Aki makan bubur pagi itu. Rasa cintanya yang dalam, mampu kami rasakan getarannya sampai saat ini. Tangan-tangan lembutnya, sesekali menyeka air mata yang hadir. Bahkan, keduanya nampak selalu saling menguatkan untuk setiap mimpi yang ingin mereka raih bersama. Benar, salah satu mimpiya yaitu ingin menyaksikan aku dan adik bungsuku berkeluarga. “Tuhan, tolong sehatkan Aki, biarkan aku dan adik bungsuku mewujudkan mimpi mereka”, doaku waktu itu.  Di sini, dari bilik kamarku yang kecil, aku juga hanya mampu mengucap “Hamdalah” yang tak berkeseudahan. Menyambut bapakku kembali sadar walau badannya masih terbaring lemas di atas tempat tidurnya, “Alhamdulillah Yaa Rabb…”, ucapku padaNYA.

                Kini, kami ada di bulan baru, bulan kelahiranku, dan bulan dimana salah satu tokoh Proklamator Negeri ini juga dilahirkan, yaitu JUNI. Langit yang sebelumnya terasa mendung, terasa mencekam, bahkan terasa mampu membekukan setiap sendi-sendi ditubuh kami, kini bertebaran harapan dan doa-doa baru dari orang-orang disekitar kami. Aki, yang di bulan sebelumnya sempat tak sadarkan diri, kini mampu menunjukkan senyum khasnya disaat kami sedikit berbagi canda. Bahkan, disaat suaranya yang sempat hilang itu kembali, panggilan indah untuk cucu kesayangannya yaitu Yumna Faqihatunnissa bisa kami dengar kembali dengan sangat jelas, “Yuum…Yuumm”, begitulah panggilan akrab Aki untuk gadis kecil usia 2 tahun itu. Rasa Lega, bahagia, dan bersyukur, adalah beberapa kata yang menggambarkan perasaan kami yang sempat cemas kala itu. “Alhamdulillh Yaa Rabb, Engkau dengar doa kami”, begitulah ucapan syukur kami pada DZAT yang satu, yaitu Allah SWT, disaat Aki, Bapakku yang malang itu menunjukkan perubahan kondisinya yang mulai membaik.

               Ah, Pelangi yang sempat hadir, ternyata tidak mampu bertahan lama. Dia memudar, merubah warna-warninya menjadi sedikit gelap dan terus menggelap. Tak lagi aku lihat keindahan darinya, dia pergi, menghilang, dan gak tahu kapan dia kembali. “Tuhan, pertanda apakah ini???”, tanyaku padaNYA. Yah, dari semua rasa syukur, dan kebahagian atas kesehatan Aki yang semakin membaik kala itu, ternyata Tuhan hanya memanjakan kami dalam hitungan hari, karena tepat di 4 Juni 2021, Tuhan hadirkan kondisi Aki yang kembali menghawatirkan. Badannya yang renta, kini, tiba-tiba menjadi demam, panas tak turun-turun. Ibuku yang cekatan, telaten, dan bersemangat menyambut setiap senyum yang hadir dari belahan jiwanya, kembali merawat Aki dengan mengompres badannya yang memanas itu. Kini, Aki kembali ngdrop, bersatu dengan kehengingan dan kebisuan panjangnya. Kami, anak-anaknya yang selalu peduli dan mencintainya, kembali khawatir, cemas, dan terperangkap pada perasaan yang sama. Setiap kata yang keluar dari bibir kami adalah doa, dan setiap air mata yang keluar dari mata kami adalah ungkapan sayang yang mendalam. Yah, kembali kami rawat Aki dengan penuh cinta, dan kami kerahkan segala hal yang kami bisa secara bersama-sama, “Aki yang kuat ya!…”, bisik kami pada Aki kala itu.

              Namun, aku merasa menjadi anak durhaka kala itu, hanya mampu memandangi segala aktifitas seluruh anggota keluargaku yang bersemangat, bahu membahu merawat bapakku yang sedang tak berdaya di tempat tidurnya. Sesekali, aku mendekat, namun tak banyak hal yang bisa aku lakukan. Tenaaga bajaku yang dulu, kini bak hilang ditelan bumi, tubuhku benar-benar tak berguna, aku hanya mampu menyentuh panasnya suhu badan Bapakku, menyapanya, tapi tak mampu melakukan hal-hal lain seperti apa yang dilakukan kakak-kakaku. “Tuhan! Penyakit apa yang bersarang ditubuhku? Kenapa Engkau tega (menyakitiku) seperti ini? Badanku kenapa tak mampu bergerak lincah seperti halnya yang lain? Nafasku yang panjang kenapa terasa sesak? Penciumanku yang tajam, kenapa hilang fungsinya? Aku salah apa Tuhaaaan?”, Protesku padaNYA disaat aku benar-benar tak mampu berbuat banyak untuk Bapakku yang semakin mengkhawatirkan. Dalam diamku, aku masih merasakan hangatnya tangan renta bapakku yang selalu bertumpu mengenggam kuat tanganku disetiap aktifitas peribadatannya, kakinya yang tak mampu bergerak cepat, selalu aku “komando” dengan caraku sendiri. Bahkan, disaat kondisi Aki yang sangat mencemaskan itu, pernah ada satu moment disaat dia menyebut namaku untuk menuntunnya, memapah dia melakukan akitifitas 5 waktunya yang tak pernah dia sia-siakan. “Ah, aku begitu beruntung menjadi bagian kecil yang beliau ingat disaat koma-nya, menyimpan namaku di memorinya yang semakin melemah. Tuhan! Sekali lagi aku mohon, sehatkan Aki untuk kami….”, ungkapan doaku padaNYA.

              Dan, tibalah hari itu, Sabtu, 5 Juni 2021 atau 24 Syawal 1442 Hijriah. Disaat pagi yang cerah, kembali, menawarkan cerita yang tak akan pernah kami lupakan untuk selamanya. Tiba-tiba, kakak perempuanku membuka pintu kamarku, memanggil namaku dengan teriakan dan tangisnya yang pecah, “Akiii…Akiiiii…lihat Akiii…ayo kumpul semuanyaaa…”, teriak kakak perempuanku kala itu. Benar saja, dalam kondisiku yang masih berbalut jaket army kesayanganku, dengan terusan sarung biru bermotif garis lurus memanjang kebawah, aku mendengar lantunan doa bercampur tangis yang benar-benar berbeda dari sebelumnya, lebih keras, bahkan getarannya seperti mengisyaratkan sesuatu. Yah, aku menyaksikan situasi seperti halnya kondisi Aki pertama kali jatuh, dia sudah dikelilingi oleh semua anggota keluarganya, ditangisi berbarengan dengan doa-doa yang tak pernah terjeda. Disana ada tangis yang benar-benar pecah, menyaksikan Aki berjuang untuk kami, dengan matanya yang semakin mengecil, dengan nafasnya yang mulai melemah, dipangkuan kakak dan adik bungsuku, kami mendengar ada kalam Ilahi yang terus dilafadzkan olehnya, tak henti-hentinya kami bantu menuntun Aki melafadzkan dua kalimah syahadat, membacakan setiap doa yang kami bisa, yah, tepat di jam 9 pagi, kami sekeluarga mendengar nafas terakhirnya ditutup dengan “Ashadualla illaha Illallah…wa ashaduanna Muhammadar Rasullullah…”, Aki pergi, benar-benar pergi. “Innalillahi wa Innailaihi rajiuuuunn….”,teriak kami di akhir nafas husnul khotimahnya.

                “Selamat jalan Aki, semoga husnul khotimah. Aki orang baik, Aki orang soleh, Aki dicintai banyak orang. Alhamdulillah, dari perjalanan panjang bersamamu, kami mendapatkan banyak pelajaran yang sangat luar biasa. Bahkan, diakhir usiamu, Aki masih memberikan getaran bangga untuk kami sekeluarga. Begitu banyak orang-orang yang berlomba memandikan jasad kecilmu, berdesak-desakkan di Mesjid untuk menyolatimu, dan mereka berbondong-bondong meraih jasadmu, menciumu, dan mendoakanmu sampai ditempat terakhirmu, SAMPAI SAAT INI. Sekali lagi, selamat jalan Bapak kami KMZ. ZAINUDDIN bin KIAYI UDUNG DIMYATI, isyaAllah, tempatmu adalah Syurga, Aamiiin…”.

CINTA INI UNTUK SIAPA?

Posted in Uncategorized on January 14, 2019 by budaksabar

img_20180923_224904_369

“Huuu, penat! Tak ada yang berubah…terus…terus…dan terus…, malam minggu ini sungguh menyakitkan batin gue banget dah, tak ada pesan romantis, atau sapaan manja dari seorang pengagum hati seperti halnya gadis-gadis kebanyakan..huuuhh…” Celoteh renyah gue diujung malam minggu yang kelabu. Perkenalkan gue Shasha, gadis misterius yang lahir dan besar di kota Bandung. Gue dan keluarga gue hidup serba berkecukupan, Ibu dan bapak gue adalah pribadi yang selalu sibuk dan dahaga dengan materi keduniawian. Ibu gue seorang sekretaris umum disalah satu perusahan raksasa di Jakarta. Sedangkan, Bapak gue menjabat sebagai wakil rakyat yang mewakili Partai Kenamaan Negeri ini. Konon katanya, bapak gue akan selalu hidup sejahtera dengan nominal Rupiah disetiap gajih per bulannya. Eia, gue mempunyai dua sahabat karib, Maya dan Lulu. Maya adalah sosok manja yang setiap harinya disibukan dengan kisah cintanya yang putus nyambung. Wajahnya yang rupawan ternyata tidak menjaminnya mendapatkan CINTA yang seutuhnya. Sedangkan, Lulu adalah gadis lugu dengan ribuan hapalan Hadist yang bersarang di otaknya. Kerudung syar’I yang selalu senada dengan gamis panjangnya, senantiasa memancarkan keteduhan dan menjaga setiap lekuk tubuhnya yang semampai. Di sekolah, Lulu menyandang wanita ter SOLEHAH versi gue dan Maya waktu itu.

“Sha, gue gak ngerti dengan pola pikir si Ardy, dia selalu maksa gue biar mengerti dia, tapi sebaliknya…eeehh malah dia kagak pernah mengerti gue”, curhat Maya si gadis rupawan yang tengah putus asa karena kisah cintanya. “Sha, gimana nih? Masa iya gue harus BREAK lagi sama si Ardy…Sha?” lanjut Maya menegaskan. “Shaaaaaa….”, bujuk si Maya lagi. “Aduh, May! Lu ribet ya…saban hari curhat lu Cuma seputar hubungan lu sama si Ardy…dan penyebabnya itu-itu juga…”, respon gue datar. “Iya Shaa…terus gue harus gimana???”, bujuk Maya lagi. “lu masih ingat pesan gue kemarin pas lu curhat tentang si Ardy kan?”, respon gue lagi. “Iya Sha, gue masih ingat banget…”, tembalnya. “Nah, itu jawaban gue May, percis kagak bakal beda…udah ah gak usah tanya gue lagi…kasus lu itu mulu…itu mulu…bosan gue…yang lain kek hahah”, jawab gue lagi sambil bercanda. “iiihh nyebelin ya lu, Shashaaaaaa…”, teriak Maya seraya mengejar gue.

Dibalik sendu karena kisah cintanya bersama si Ardy yang menurut gue kaya “BOCAH”, sebenarnya Maya adalah tipe sahabat yang sangat care dan perhatian sama gue dan Lulu, si wanita Solehah yang sejak dari pagi tak terdengar kabarnya. “eh, Sha…tumben si Lulu kagak ada kabarnya dari pagi, kemana dia?” tanya Maya sama gue. “iya kenapa tuh bocah tumben banget, biasanya jam-jam segini di grup WA udah banjir ceramah dia tuh wkwkwk…” ledek gua waktu itu. “gue takut dia jadi sesat deh, lu pernah dengar kan anak-anak yang suka ngaji tiba-tiba jadi tertutup dan menghilang gitu, Sha?” cemas Maya lagi. “gaklah, gue percaya si Lulu bukan type yang gampang terpengaruh gitu, paling juga dia lagi sibuk sama bisnis bukunya atau dia lagi kagak ada kuota, makanya belum ada kabar dari dia… positif aja dulu gak usah horror kaya gitu lah May, lebay lu… ngeri gue hahah”, tembal gue lagi seraya becanda guna mencairkan ke -MISTIS- an otak si Maya waktu itu.

Dari kecemasan gue dan Maya waktu itu, tiba-tiba sosok Lulu si wanita solehah itu menyapa via aplikasi WA, “Assalamualaikum Sha, May… lagi dimana kalian?”, pesannya waktu itu. “Kok lu gak jawab salam si Lulu, Sha?” tanya si Maya disaat dia tahu gue sudah membaca pesan WA di grup “TIGA WARNA” yang berisikan tiga orang itu. “udah biarin saja…salah sendiri baru nongol hahah”, respon gue sedikit tengil. “kasihan tahu, Sha…” jawab Maya lagi. “yaudah lu aja yang jawab, gue sih mau ngisengin dia aja dulu…biar dia merasakan apa yang tadi kita rasakan, CEMAS kan lu tadi?…hahaha”. iseng gue lagi. “iya sih, gue cemas banget tadi pas belum ada kabar dari dia. Yaudah kalau begitu…gue ikut lu aja buat ngisengin si Lulu hihi..”, jawabnya sedikit give up ngebujuk gue si gadis tengil berotak batu haha.

Tak terasa langit yang terang kini mulai meredup, tepat di jam 14.30 sore waktu itu, pesan WA dari sang karib sudah di angka 132 dengan pesan yang sama, “Sha, May kalian dimanaaaaa???” lengkap dengan emot bete di akhir pesannya itu. Gelak tawa tak sekalipun reda dari mulut gue dan Maya waktu itu. Bahkan, si ibu kantin yang sedari tadi merasa aneh melihat polah kami berdua disaat membaca pesan dari si Lulu sempat melempar nasihat alakadarnya, “Neng, jangan suka ngetawain orang atuh, pamali…ibu mah meni takut lihat Neng berdua ngakak kaya nu gelo begitu ih…awewe mah harusnya dijaga cara ketawanya jangan begituu…”, sahut Bu Onah, penghuni Kantin sekolah dengan logat Bandungnya yang masih kental. “iya Bu Onaaahh…lagian ngapain sih kepo dah hahaha…”, Sahut gue spontan. “Eeh, ari Neng Shasha teh suka begitu, pamali tahu dibilangin sama orang tua tuh nembal kaya begitu, entar kalau Neng Shasha digituin orang, bakal sedih heg…” lanjut Bu Onah lagi, “Iya Bu Onah, maaf si Shasha mah emang suka begitu…”, tembal Maya sambil nyubit paha kanan gue. “Adaaww…Maayy…sakiiiitttt”, lirih gue disaat si Maya menyadarkan ketengilan gue sama Bu Onah. “Huuss…udah diem!!” responnya lagi.

Hari semakin gelap, kantin sekolah yang tutup di jam 15.00 WIB setiap harinya, akan segera berakhir. Para siswa yang dari tadi menikmati aneka makanan dan minuman selepas bubaran sekolah, berlalu satu persatu meninggalkan keramaian guna menepi ketepian SORE-nya masing-masing. Sosok Lulu yang dari tadi belum sempat kami balas pesan WA nya, kini menyepi kembali, hilang bak ditelan bumi, tak ada kabarnya sama sekali. Bu Onah yang sempat nimbrung di gelak tawa kami tadi, kini mulai bebenah merapihkan dagangannya dengan telaten. Dari sepi yang saat ini kami rasakan, lelah mulai menyeruak sampai ke ubun-ubun, “May, gue BETE ah disini mulu, gue cabut ya…lelah nih…”, sahut gue sama Maya. “Lah, kok lo mau cabut sih Sha? Si Lulu ntar nyariin kita gimane?…”, respon Maya kala itu. “Iya sorry nih May, badan gue tiba-tiba kok lemes gini ya…gue pingin istirahat duluan ya…Byeeee”, tempas gue sama Maya sambil berlalu dan melaju bersama kuda besi lama gue, Si Vespa tua produksi 1963. “Shaaaaa…???” suara Maya terdengar parau memanggil gue yang mulai menghilang dari pandangannya, bersatu dengan angin sore kala itu.

Gue memang tipikal pribadi yang tengil, gemar menghangatkan suasana, banyak teman dan mudah bergaul. Namun, jauh di dasar hati gue yang paling dalam, gue merasakan sepi yang sebenar-benarnya sepi. Hidup berkecukupan bukan juga jaminan buat gue menikmati setiap helaan nafas dariNYA, rumah mewah dengan pasilitas WAH ternyata juga hanya mampu membisu disaat gue sendiri dan terkucilkan. Ibu dan Bapak gue hanya berbagi kabar lewat telephone, satu kali dalam seminggu itu jauh lebih baik rupanya, mungkin bagi mereka. Tapi, tidak buat gue, bahkan, saking sibuknya mereka, pernah suatu hari tak ada kabar yang menghangatkan jiwa gue yang sendiri, bahkan sekedar menyapa hari gue atau mengingatkan gue sudah makan atau belum, “Ah sudahlah…”, lirih gue disaat kondisi itu tak banyak berubah.

“Sha, lu baik-baik saja kan?” sapa Lulu si gadis solehah via aplikasi WA nya. “Sha, gue kaget banget dengar kabar lu dari si Maya, katanya kemarin sore, lu tiba-tiba gak enak badan dan mau istirahat gitu ya?” pesan WA dari si Lulu lagi. Tangan gue tak kuasa buat membalas setiap pesan dari sohib gue itu, bukan karena gue jahat, tapi karena kondisi gue memang benar-benar sedang ngeDrop, makanya gue izin kagak masuk sekolah. “Sha, kok lu Cuma nge-READ WA gue deh? Kenapa lu, Sha? Marah sama gue yah karena kemarin…kata Maya gue menghilang tak ada kabar gitu yah?” jelas Lulu lagi. “Kemarin gue ada bazar, Sha. Udah gitu ada perkumpulan teman-teman ngaji gue buat setor hapalan hadist gue setiap harinya. Bodohnya gue, kemarin gue lupa bawa charger. Al hasil, hape gue lowbat dan mati tiba-tiba. Gue udah jelasin semuanya sama Maya kok, maafin gue ya Sha…”, pinta Lulu dengan perasaan bersalahnya sama gue hihi… “TAPI KENAPA PAS W WA LU BERDUA DI GRUP, TAK SATUPUN DIBALES…COBA KALO LU BALES, SEBELUM HP W MATI, W BAKAL TAHU DIMANA POSISI LU BERDUA DAN CEPAT-CEPAT JUMP LU…HUUUHHH”, pesan terakhir si Lulu dengan tulisan yang di CAPS LOCK, menandakan dia lagi marah dan kesal juga karena polah tengil gue dan si Maya kemarin hahahah…

Yah, cuma si Maya dan Lulu yang mampu menghibur gue saat ini. Walau pada kenyataannya, gue pingin lebih dari itu, tapi gue gak tahu siapa yang mampu memberi kenyamanan dan kehangatan yang LEBIH itu. Menyinggung hubungan percintaan, si Maya jauh lebih senior dari kami bertiga, dia sudah mantap dengan pacar putus nyambungnya itu, Ardy, walau pas ada galaunya tetap dia bagi juga sama gue haha, dan sohib gue yang satu lagi, Lulu, kini tengah taaruf-an dengan seorang Ikhwan dari tempat ngajinya dia. “Nah gue apa kabaaaarrrr??? Hahaa…. Tak apalah, Tuhan tak akan pernah salah memilihkan jodoh buat gue someday, Amiiinn…”, lirih gue menguatkan bathin gue yang benar-benar meradang hahaha…

20190112_224225 “Assalamuaalaikum…Shaaa…”, suara salam menyapa dari bilik daun pintu rumah gue siang itu. “iyaa bentaaaarrr….” Teriak gue dari dalam. “wa..alai..kum…owhh” respon gue terhenti setelah gue tahu bahwa Reyhan, sang ketua OSIS yang datang ke tempat gue kala itu. “salaaammm…” suara Reyhan melanjutkan salam gue yang terhenti itu sambil tersenyum. “hmm…maaf Sha, gue gak ngasih kabar lu kalau gue mau kemari…hmm..tadi anak-anak banyak yang bilang kalau lu udah 2 hari ini kagak masuk sekolah yah…hmm makanya gue selaku ketua OSIS kayak punya tanggung jawab gitu buat jenguk lu, Sha.”, jelas lelaki jangkung dengan wajahnya yang rupawan itu. “Oh..iya Rey, gue cuma kecapean saja mungkin…karena lu bisa lihat sendiri kalau gue disini cuma sendiri…yah mungkin karena gue melakukan segala sesuatunya sendri, jadi gue ngeDROP gitu, Rey…hmmm..eh yaudah ayok masuk..sorriii berantakan”, jelas gue sedikit terbata-bata karena terkesima dan kaget atas lawatan sosok rupawan yang banyak digandrungi kaum hawa di sekolah gue. “lu mau minum apa Rey?” tanya gue sama Rey. “udaaah gak usah repot-repot, Sha. Lu kan lg kurang fit juga badannya…gampang kalau gue haus mah ntar juga gue ambil sendiri, boleh kan?” jawab Rey semakin membuat gue gugup tak karuan hahaha. “iya..iya…boleh…boleh kok…santai saja kaya di rumah lu aja Rey…” tempas gue lagi.

Setelah lawatan lelaki terganteng di sekolah gue waktu itu, gue spontan serasa punya tenaga lebih buat melakukan aktifitas seperti biasanya. Tidak ada lagi rasa sakit, bete, dan lelah disetiap hari-hari gue. Entah energi apa yang dia salurkan dalam tubuh gue, yang jelas gue sangat bahagia, dan merasa WAJIB bersolek kapanpun dan dimanapun, padahal sebelumnya hal itu tidak pernah gue lakukan. “Lu semua pada tahu sendiri kan kalau gue terbilang tengil, cuek, dan sedikit tomboy? Sekarang, berubah pake banget dan banget hahah…”. tanya gue pada lu semua yang lagi baca cerita gue ini hihi.

Setiap hari, setelah mandi pagi, gue selalu memilih baju seragam yang sudah rapih disetrika untuk dikenakan, rambut gue yang selalu ditutupi topi bermerek “NIKE” tak lagi gue pake guna menunjang penampilan gue yang mulai tersihir ramuan dari tempat antah berantah. Bibir gue, yang lumayan seksi, kini sedikit gue kasih gincu guna menunjukan sisi feminine gue. Bau badan yang biasanya tak beraromakan bunga-bungaan, kini semerbak tercium oleh semua orang yang gue lewati. Tak ada lagi Shasha yang tengil, Shasha yang tak terawat, cuek, dan tomboy itu. Sekarang, gue sudah benar-benar berubah menjadi pribadi baru yang tengah tersihir guna melupakan semua kepenatan dan kekosongan dalam jiwa gue. “Yah, gue berubah.” Celoteh spontan gue sama lu yang masih anteng membaca cerita gue ini hihi.

“Sha, serius ini loh?” respon Maya kaget. “Gue gak lagi mimpi kan? Atau keleyengan karena otak gue mabok hapalan hadist? Ini bener-bener lu kan, Shaaa???”, tambah karibku yang satu lagi. “sumpeh ya, dua hari lu sakit, lu berubah banget…cantik…wangi…wuiiiihhh..”, respon Maya lagi melihat penampilan gue kala itu. “siapa yang bisa ngebujuk lu pake gincu dan bedak, Sha? Terus itu topi khas lu kemana gak lu gunain lagi? Gue yakin, pasti ada yang gak beres sama lu, Sha…”, celoteh Lulu lagi. “aduuuhh guys, kalian itu gimana sih, gue dekil lu komentari, gue cantik…wangi…juga lu komentari…gue begini bukan karena ada yang kagak beres dalam diri gue, gue begini karena Rey…oppss”, jelas gue sama teman-teman gue seraya hampir keceplosan menyebutkan satu nama. “REY? Rey siapaaaa, Shaaaaa???” kompak teman-teman gue kaget sambil menyudutkan gue dengan pandangan mereka yang penuh dengan intimidasi. “Sssstttt…berisik banget kalian….jangan kenceng-kenceng bilang Rey nya, dodooool.” Bungkam gue sambil menggiring mereka guna menepi ke tempat yang jauh lebih steril dari jangkauan kuping-kuping yang lainnya. “ASTAGAAA!!!…Lu gak lagi HALU kan, Sha?” tanya Maya lagi setelah gue menceritakan semuanya. “Yaa Allah…gue kok seneng banget dengar kabar ini, Shaa..”, tempas Lulu mengakhiri adegan kaget-kagetannya dan berakhir dengan pelukan hangat kami bertiga kala itu.

Setiap pagi, gue selalu menyempatkan memburu senyuman Reyhan, sang ketua OSIS dari kejauhan. Sikapnya yang tegas dan berwibawa disaat memimpin organisasinya, semakin menguatkan posisi lelaki itu sebagai Arjunanya di sekolah gue kala itu. Sampai saat ini, gue masih tak mengerti dengan kondisi gue sendiri, karena kebiasaan gue yang amburadul ternyata mampu berubah 1800, bahkan, mungkin lebih dari itu. “Ah sudahlah, gue tak mengerti perasaan apakah ini?” gerutu hati gue kala itu.

Waktu memang tak selamanya menebar keindahan pelangi yang senantiasa hadir setelah hujan reda. Namun, ada kalanya dia akan merubah warna-warni pelangi itu menjadi langit yang gelap, mencekam dan bahkan menakutkan. Angin yang selalu berhembus sepoi pun tak selamanya memanjakan kita yang kegerahan, terkadang dia mengganas, melumat ceria menjadi sepi yang tak terbantahkan. Tepat di akhir masa sekolah gue waktu itu, perumpamaan yang selalu gue gambarkan itu seakan menjadi KARMA buat gue sendiri. Entah apa maksud dari semua skenarioNYA itu, yang jelas, gue benar-benar mulai bertanya sama diri gue sendiri, “Cinta ini buat siapa?” disaat pemuda yang gue gambarkan sempurna itu ternyata memilih “ber-ulah” memainkan perasaan gue dengan caranya sendiri.

“Hmmm, Sha, ini buat lu…”, suara khas itu, tepat berdiri didepan gue dengan menyodorkan sebuah kertas wangi bertuliskan “INVITATION CARD” yang ternyata nama yang tertulis di sepucuk kertas itu dialamatkan buat gue. Hening, dingin, kaku, cemas, dan penasaran, adalah gambaran dari posisi gue kala itu. Lelaki yang selama ini mampu menjadikan gue pribadi baru, dengan sendirinya menyodorkan sebuah kartu yang tertuliskan nama gue di kartu undangannya itu. Yah benar sekali, itu adalah kartu undangan pesta kelulusan yang dia bagi buat gue agar gue juga bisa hadir pas hari H-nya. “Huuuhhh…”.

Jauh-jauh hari gue menyusun strategi bersama kedua sohib gue itu, menceritakan jenis gaun, make up, dan printilan-printilan lain yang akan menunjang penampilan gue di private party nya Reyhan. Maya dan Lulu yang juga diundang ke party nya Reyhan itu juga gak kalah heboh menyiapkan segala sesuatunya sedini mungkin, “eh..lu berdua jangan lebay ya ntar dandan di partynya si Reyhan…jangn sok kecantikan pokoknya…”, ancam gue buat kedua sohib gue itu. “Diiiihhh….emangnya lu siapa sok-sok an ngatur kite berdua, iyakan Lu?” jawab Maya. “iyalah,,,gue juga pengen kali dandan cantik di party-nya Arjuna sekolah kita hahaha…” tambah Lulu sedikit tengil. Sebenarnya, gue tahu kedua sohib gue itu cuma becandain gue saja kala itu, secara si Maya akan datang bersama si Ardy, dan si Lulu juga akan datang bersama ikhwan si calon ustadz itu. “tenang saja Sha, pokoknya kita berdua akan support yang terbaik buat lu. Gak nyangka ya gue, lu diberi undangannya langsung dari tangan si Reyhan, sedangkan kita berdua cuma diundang melalui karibnya si Reyhan, yaitu si Anton bujang letoy dengan penampilannya yang cupu hahah…”, support Maya lagi buat gue dengan ending nya yang sumpah bikin gue dan si Lulu ngakak hahah….

Hari kelulusan pun datang, gue, Maya, Lulu, dan teman-teman seangkatanpun dinyatakan LULUS di perhelatan akbar pesta kelulusan sekolah gue kala itu, sorak, tangis, tawa, hiruk pikuk, menyeruak bersamaan kala itu. Namun, entah kenapa serasa ada yang hilang dari kegembiraan pesta kelulusan siang itu disaat Reyhan, lelaki yang selama ini mulai gue kagumi tak nampak hadir. Gue benar-benar merasakan ada yang kurang di momen penting dan sakral itu, disaat sebagian orang mulai mencoret-coret seragamnya, menyusun acara guna mengakhiri kebersamaan dengan suka cita, dan berpoto bersama guna mengabadikan momen yang tak akan terulang untuk kedua kalinya. Sesekali gue tengok ponsel jadul gue, dengan harapan ada ucapan selamat dari lelaki yang gue idolakan. Namun, ponsel gue tetap anteng tak ada tanda-tanda akan hadirnya pesan darinya, “huuuhhh” lirih gue kala itu.

Sha, kanapa lu?…” celoteh Maya penuh tanya. “Sha, lu sakit? Ini hari bahagia kita loohh..” tanya Maya lagi. “oh iya May, hmmm…gak..gue baik-baik saja kok haha…ah lu bisa aja ngagetin gue….” respon gue pada Maya guna mencairkan situasi kala itu karena sejujurnya gue gak mau merusak momen penting gue dan teman-teman lainnya karena masalah perasaan gue pribadi yang tengah dilanda galau. “ayoo…kita photo-photo lagi!” ajak gue tiba-tiba. Dengan senyum yang gue rekayasa sendiri, dengan keceriaan yang {PALSU} dari gue, beberapa jepretan photo full color pun dengan cepat saling berseliweran terkirim via WA, sosmed, dan applikasi kekinian lainnya. Namun, tepat di dasar hati, gue merasakan ada suatu rasa yang akan hilang untuk selamanya.

Belum sirna pirasat gue kala itu, tiba-tiba hiruk pikuk kelulusan kami terpaksa harus terjeda disaat pengeras suara mulai mendominasi, “Anak…anak! Mohon perhatiannya sebentaaaar!….hmmm…” suara Pak Kardi, kepala sekolah kami yang baik dan tegas terdengar sedikit emosional dan sedu sedan. “ada apa? Kenapa?” begitulah ribuan pertanyaan yang sama dilontarkan oleh kami disaat pengeras suara itu terdengar tak biasa. “Anak…anakku sekalian! Sebelumnya bapak ucapkan SELAMAT atas kelulusan kalian siang ini….” Ucap pak Kardi lagi. “bersamaan dengan hari berbahagia kalian ini, ada satu teman kita yang saat ini…tengah…hik…hikk..” lanjut Pak Kardi sedikit terbata-bata dan terhenti sambil menghela nafas panjang. “Reyhan…..hmmm…ketua OSIS kebanggaan sekolah kita hmmmm…” terjeda lagi. “KENAPA REYHAN PAAAAAKKKKK…..” suara lantang gue berteriak penuh emosional menanti kelanjutan sedu sedannya Pak Kardi kala itu. “Reyhan, hmmm..dia dikabarkan sudah meninggalkan kita untuk selamanya hik…hik…” jelas pak Kardi mengejutkan kami semua. Sementara, dari bilik pengeras suara itu terdengar juga tangis guru-guru lain yang mulai pecah meratapi kabar duka yang sangat tiba-tiba. “Innalillahi..wa innailaihi rajiuuunn…”begitulah respon spontan kami terkaget-kaget dan menjadi melankolis. Tangispun kini sudah benar-benar tidak mampu dibendung lagi, meratapi Arjunanya sekolah kami yang waktu itu dikabarkan pergi untuk selamanya karena suatu hal yang masih abu-abu. Sungguh, seisi sekolah itu tak kuasa menahan sedu sedannya, menangisi Reyhan yang terkenal baik, berprestasi, dan di idolakan oleh semuanya.

“Pak Kardi gak lagi bercanda kan , May? Pak Kardi bohongkan?” tangis gue pecah sejadi-jadinya.  “gue gak percaya, May…tolong bilang sama gue, ini semua bohong kan?….ini semua gak benar adanya kan?…tolong katakan sama gue, Maaaay!…tolong katakan sama guuee..hikk..hikk..” desak gue sambil menangis pada sohib gue itu. Seperti mengisyaratkan sesuatu, kedua sohib gue pun memeluk gue, bersamaan dengan yang lainnya, merasakan suasana sedu sedan yang tak berkesudahan. Merasakan kehilangan, merasakan kesedihan dan duka cita yang mendalam. “kalian gak percaya dengan kabar barusan kan May?…Lu?…” tanya gue sedikit lemas. Namun, mereka hanya mematung, diam dengan tangisannya yang meradang. Seolah-olah meng-IYA-kan berita duka yang berhasil mengalahkan keceriaan, dan huru hara dari pesta kelulusan sekolah kami kala itu

Dengan tergopoh-gopoh, dengan sisa tenaga yang gue miliki kala itu, gue berusaha menepi ke sebuah rumah yang tengah berbalut duka. Dari gerbang sebelah kanan dan kirinya berkibar bendera kuning bertuliskan nama Reyhan bin Slamet. Dari semua kerumunan orang-orang yang berduka, terdengar wanita setengah baya memanggil nama Reyhan dengan nampak kepedihan yang mendalam dan terus menangis sejadi-jadinya. Benar saja, wanita itu adalah ibunya Reyhan yang kabarnya sudah hampir 10 tahun meninggalkan Almarhum karena perceraian. Gue mencoba mendekat, mengamati raut wajahnya yang masih menyisakan jejak-jejak kecantikan, gue mencoba tersenyum padahal sebenarnya gue tak mampu. Gue mencoba menyapanya, mendekatkan chemistry dengannya, menahan pilu, mencoba menguatkan rapuhnya hati seorang ibu yang sedang kehilangan kala itu. Dia menyambut semua isyarat dari gue, dia mendekat, memeluk gue erat sekali, dia menumpahkan segala sesal tepat dipangkuan gue. Dengan tangisnya yang mendalam, gue pun hanyut dengan semua rasa yang sedari tadi gue tahan. “iya tante, saya menyayanginya…melebihi diri saya sendiri…dia yang menguatkan saya disaat saya dalam kondisi yang sangat menyedihkan…Namun, saya gak mampu melakukan sebaliknya hik hik…saya kehilangan dia, Tan….” Celoteh gue pada wanita itu.

Kini, misteri dari meninggalnya Reyhan sudah gue ketahui dari ibunya sendiri. Ternyata sudah hampir 3 tahun, Reyhan mengidap kanker otak stadium 4. Namun, Reyhan sosok yang pandai menyembunyikan segala dukanya, bahkan dia mampu menghibur orang lain yang sebenarnya jauh lebih sehat darinya. Yah, contohnya, dia mampu membangkitkan semangat gue buat menjalani kehidupan gue yang sebelumnya sepi. Entah kenapa dia begitu care sama gue waktu itu, menjenguk gue, menyemangati gue, merubah gue menjadi pribadi yang jauh lebih baik lagi, sampai akhirnya hampir setiap hari gue selalu betah memandangi pribadinya yang selalu berbagi tersenyum dan menyapa pagi gue. Bahkan, gue selalu kesal disaat sosoknya yang rupawan tak mampu hadir dalam bunga tidur gue hmmm…

Yah, dari bilik kamarnya yang bercat biru dengan lampunya yang temaram, gue mendapati nama gue yang ternyata ditulis indah tepat dilangit-langit kamarnya “SHASHA CANTIKA” dengan symbol LOVE berwarna merah muda menambah romantisnya langit-langit kamar Reyhan kala itu. Spontan, gue menangis haru bercampur bahagia, karena ternyata pertanyaan gue mengenai “CINTA INI BUAT SIAPA?” kini sudah benar-benar ada jawabannya.  “Yah, walau tempat gue dan Reyhan sudah benar-benar berbeda, gue akan selalu menyayanginya, mengaguminya, dan mendoakan yang terbaik untuk nya. Sekali lagi, selamat jalan Reyhan, sampaikan pada gue, kalau CINTA mu itu buat siapa? Biar nantinya, akan gue jawab disaat gue benar-benar lelap dalam tidur panjang gue, menemuimu menyapa sepi dari alam yang baru…” lirih gue sedikit lega seraya terus memandangi langit-langit kamar Reyhan dan terus menciumi kartu undangan darinya. “Huh…Reyhan…Reyan…”

VALENTINO STOPPED “RIDING” HIS DAYS IN KM 13

Posted in Uncategorized on November 21, 2018 by budaksabar

motor

Denyut jantungku tiba-tiba melaju bak di arena, hiruk pikuk bandit-bandit ibu kota serentak terhenti, mengalihkan pandangannya pada sang Legenda. Ya, tepat di 13 April 2017, sang Komando menyuarakan “kebencian” padaku, meruntuhkan harapan dan mewarnai sisa hariku di bulan ke Empat ini dengan nyanyian melankolisnya yang siap mengantarkan sang idola ke gerbang keterpurukan yang tak berkesudahan. Ah, sudahlah, aku gak apa-apa…” jawabku. Dari setiap pasang mata yang menyaksikan kesusahanku kala itu, aku menangkap ada pesan yang hendak disampaikan, “iya terima kasih, aku gak apa-apa, kawan!”, jawabku lagi

Dari langit yang selalu gelap setiap harinya, aku belajar tersenyum walau tak banyak warna-warni yang menghiasi pekatnya. Dari hujan yang selalu ramai melengkapi jiwa-jiwa yang sepi, aku belajar ikhlas walau jiwaku sedikit trauma menjadi melankolis. Dari terik yang membakar kulit sawo matangku, aku belajar bertahan walau sakit yang dirasa tak mampu hilang, walau sebentar. Dari tempat ini, mereka mengenalku dengan sebutan -VALENTINO-. “Bro, yang kuat ya! Gua yakin lu bakal lebih sukses di luaran sana!” pesan yang syarat motivasi menimpali setiap diamku kala itu. “Thanks…”, lirihku singkat.

Orang tua dan keluarga besarku masih tergambar bahagia di nodus normalku, dari tempat yang sangat jauh, aku selalu menitipkan mereka padaNYA, pada DZAT yang Tunggal, DZAT yang Maha Akbar, DIA lah Sang Pencipta, yang selalu mendengar doa-doa khusukku di kala tahajudNYA tiba. Dari semangat yang masih tersisa, aku memaksimalkan segala tenaga menjadi pribadiku yang kuat, tak kalah walau arenaku sudah digantikan sama yang lain, “kamu bisa, Valen!”, semangatku pada sosok Valentino yang tengah berduka.

Aku berjalan lunglai ditepian sepi yang entah dimana batasnya, aku merasakan sesak walau topengku masih bersemangat menyapa mereka yang tengah iba karena takdirku, “iya, aku tak kecewa, kawan…”, lirihku lagi disaat ribuan pasang mata masih berlinang melepas kisahku kala itu. Gelap duniaku tak terbantahkan, Jakarta yang menjadi tumpuan banyak orang, ternyata memang sulit ditaklukan. Aku adalah salah satu korban dari bengisnya ibu kota, terlempar dari arenaku, menjauh sampai nama besarku tak lagi mampu dikenang, “Yah, aku hilang bersama jiwaku…aku menyerah setelah arenaku tak lagi ku kenali, maaf Valentino! Aku tak bisa menjaga nama besarmu. Aku pamit…dan mungkin tak akan kembali”. Pesan singkatku pada sang Legenda, The Valentino from Smesco.

Berdiam diri, mungkin adalah pilihanku waktu itu, menikmati setiap perih di dada, dan menyaksikan semua episode dari kisahku. Yah, aku benar-benar sudah membeku, menjadi batu, menjadi beban dari langkah panjangku yang mulai pincang. “Valentino, adalah kisah dari jelamaan idola yang menerima karma dari jiwaku yang selalu berdusta. Menelan kekalahan dari jiwaku yang selalu kalah. Menerima malu karena sikapku yang tak mampu mengasuh nama besarnya. Ah, aku menyerah tak mampu berlari kencang seperti halnya, VALENTINO ROSSI. Ah, aku menyakiti semuanya. Ah, aku mengecewakan semuanya. Aku kalah, aku benar-benar kalah. Huuuhhh…”, sesalku waktu itu. “Namun, walau namamu tak lagi menyatu bersama jiwaku. Ketahuilah, bahwa jutaan penggemar dari belahan dunia lain sudah mencatat gelar dan karya-karya besarmu. Mereka mengidolakan sikapmu yang mampu menaklukan sepi, selalu semangat menjadi JUARA guna menaklukan setiap arena yang jauh lebih berliku. Karena diriku, you stopped riding your days in KM 13. More, thankyou for being my days, Valentino….”  Celoteh lepasku guna mengakhiri RACE ku tepat di KM 13 kala itu. Huh, Valentino…Valentino…

Aku dan Do’aku

Posted in Uncategorized on February 14, 2018 by budaksabar

Lemah, diam dalam kerdilku

Sakit, beta tengah diuji olehNYA

Aku melotot, uratku menegang kencang

Ah, malaikatku menyembuhkan sakitnya….tapi sebentar.

 

Darah, mengalir disetiap diamku

Nanah, aku bernanah di sakiti olehNYA

Aku teriak, seluruh ruang tak mampu menahan pilu

Ah, malaikatku kembali datang….tapi dia pergi.

 

Menangis, dalam sujud tak berdayaku

Mengemis, aku memohon padaNYA

Aku pasrah, DZAT yang ESAku berkata

“Nak, kembali pada malaikatmu sebelum kau jumpai AKU…”

Ah, aku menangis….

Asap Oh Asap

Posted in Uncategorized on November 5, 2015 by budaksabar

asapDisini, nampak raksasa pekat mengepung kebebasan

Gelap, sampai tak seorangpun mampu membedakan pagi ataupun malam.

Disini, ribuan jiwa menderita dalam gelap

Buta, dengan matanya yang tak lagi melihat keindahan.

Disini, jiwa-jiwa itu bak sudah setengah mayat

Terlupakan dalam pusaran asap yang menenggelamkan semua mimpi.

Disini, walau asap tengah menduniakan nama Negeriku

Namun PENGASUHKU bak tuli tak mengenali kabarku.

Asap Oh Asap

Tak pandaikah kau berbagi rasa?

Kembalikan mentariku yang tengah kau sembunyikan!

Asap Oh Asap

Dimana pagiku?

Dimana Malamku?

Dimana semua keindahan ini?

Asap Oh Asap

Kabarkan pada mereka akan hadirmu yang mencekik,

menghisap energiku…

Asap Oh Asap

Kabarkan pada mereka akan hadirmu yang menggurita,

bahkan mendunia…

Asap Oh Asap

Sudah lama kau mengepung Negeriku

Merampas pagiku…

Melenyapkan malam-malamku…

Asap Oh Asap

Biarkanlah Aku dan Mereka menyapa pagi

Menyapa kelembutan, sampai malam indahku kembali

Disini, Aku hanya ingin hidup

Menghirup Langit dengan KELEGAAN yang abadi.

@apip_ON

AKU MENUNGGU

Posted in Uncategorized on September 23, 2015 by budaksabar

IMG_7141Aku mencari jejak dari langkahku yang pernah mendunia

Aku mencari cahaya yang sinarnya pernah memelukku

LARI, aku dikejar jejak yang baru…

SEMBUNYI, aku membaur bersama temaramMU…

Huh, aku hilang bersama diriku

Tenggelam, mati dilumat zaman

Huh, aku hilang bersama jiwaku

Lenyap, sesenyap TakdirNYA

Kepada siapakah aku harus mengadu?

Kepada langit yang Tinggikah?…

Atau, Kepada Laut yang Dalam?…

TIDAK, aku masih setia pada DZAT-ku yang ESA

Sungguh, tak mudah meraih sayangNYA

Sungguh, tak mudah melihat setiap doaku menari

Terdiam…Hening…Aku menyepi bersama doa-doaku yang baru

Menghilang, menyembuhkan labilku

Sampai DIA benar-benar menghiburku…

Aku Menunggu…

@apip_ON

Ah…

Posted in Uncategorized on April 23, 2015 by budaksabar

79mahasiswa

Aku pernah benci pada cerita masa lalu

Aku pernah tersenyum pada mimpi sore itu

Aku pun pernah menangis pada waktu yang berlalu

Ah, aku bak debu yang terhempas angin jalanan

Cerianya diawal waktu

Hangat, tak nampak kepalsuan

Candanya yang saling bertalu

Lepas, mengempas kebencian

Mereka, siapa Mereka???

Semuanya palsu, sirna bersama waktu

Mereka, dimana Mereka???

Ah, aku ditinggal pergi tanpa pesan yang pasti

Bayangannya tak mengenali Mpuknya

Kebebasannya, tak mengenali buntunya

Bahkan, tawanya hanya terdengar dari bilik-bilik mimpi

Ah, mereka tak lagi sama

Aku memang tempat untuk setiap tangisnya

Aku memang tempat untuk setiap sepinya

Aku juga tempat untuk setiap karmanya

Ah, aku terjebak dengan ini semua

Mereka pernah berpesan dengan lidahnya

Mereka pernah berjanji dengan imannya

Mereka juga pernah mengikat cinta dengan sumpahnya

Ah, aku tertipu bertubi-tubi

Ah, aku berhenti dari sandiwara ini

Ah, aku tak mau lagi begini

Ah, aku terbelenggu oleh setiap janji

Aaaaahhhhh….

@apip_ON

KEDIRI

Posted in Uncategorized on February 9, 2015 by budaksabar

kediri

Aku melihat langit di bumi Kediri

Damai, meyakinkan tekadnya

Pesanku pada angin yang nakal

Sampai kedalam dadanya

Aku merasakan gersang disiangnya Kediri

Bermakna hebat dengan kesan yang agung dari leluhurnya

Hujan manja yang datang bergerombol

Tak bosan menyegarkan sang Mpu-nya ilmu

Mereka sempat berebut dengan kuatnya bara mentari kala itu

Yah, mereka berjaya sampai gelap benar-benar terlelap

Aku merasakan sejuknya pagi di bumi Kediri

Bersatu dengan semangatku mengurai tanya

Ah, apakah gerangan tempat ini???

Kedirinya aku berbagi KEDIRI

Semoga, cinta luhurnya mengalir ke hilir

Kediri, tempat teristimewa dari Pulauku yang paling Timur

@apip_ON

Dia Malaikat dari Tuhanku yang Satu

Posted in Uncategorized on December 16, 2014 by budaksabar

angel

Jejaknya masih bisa terlihat

Dalam sunyi ataupun terjaga

Dia malaikat dari Tuhanku yang satu

Selalu tersenyum dengan bibirnya yang merah

Suaranya masih mampir ke selaput gendangku

Indah, menyejukan dunia besarku

Dia malaikat, bahkan lebih dari itu

Ah, sayapnya tengah mendekap perasaanku yang bimbang

Di batas itu dia menangis dengan mutiara dipipinya

Entah perasaan apa yang dia tumpahkan disana

Sedihkah…bahagiakah?

Ah, malaikatku terdiam dalam prestasiku yang gemilang

Aku tak lagi menapaki bumi yang menjajahku

Panasnya langit membangunkan semangatku yang tengah tidur

Ah, malaikat itu kini singgah di nodus normalku

Aku menggeliat dengan tatapan yang tak bertepi

Senyum dari tempatnya yang tinggi

Bak cambuk yang mengajariku tentang hidup

Tentang mengejar mimpi yang tak pernah habis dengan satu kemuliaan

Ah, malaikatku mendekap dari tempatku yang dulu

By: @apip_ON

Ah, You’re Excellent, Pip!

Posted in Uncategorized on November 30, 2014 by budaksabar

pergiSeperti halnya langit yang tinggi, dia berputar dengan terpaan cuaca dingin dan panasnya suhu bumi yang tak terbantahkan. Begitupun perjalanan panjangku yang tak luput dengan ujian dan tekanan dari berbagai sisi dalam hidupku. Berawal dari peristiwa besar 11 Maret 2011 silam, aku pergi meninggalkan “Negeriku” dengan langkahku yang lebar. Aku tahu, mereka lagi berduka. Tapi, ini adalah cita-citaku yang harus aku perjuangkan. Isak tangis kedua orang tuaku tak mampu memberatkan langkah beraniku waktu itu, walau dalam nuraniku sedu sedan tengah mengguncang dan membabi buta perasaanku. Disini, tekadku semakin bulat untuk menghadiahkan mereka kabar terbaik yang akan menjadikan mereka bangga untuk selamanya. Yah, tepat di 13 Maret 2011 perjalanan beraniku dimulai. ladangLadang dan pesawahan hijau turut melambai untuk terakhir kalinya, bak menyemangati rasa sedih yang tengah melanda batinku waktu itu, aku berusaha tersenyum dengan sisa ”beraniku” yang tengah dititik -NOL-. Aku peluk ayah dan ibuku diringi suasana melankolis yang tak mampu terbantahkan lagi, serta kusalami adik dan saudara-saudaraku yang tak lain adalah akar dari semangat tinggiku selama ini. Bis Do’a Ibu yang membawaku ke sudut ibu kota yang kejam, melaju cepat diiringi linangan air mataku yang meluap sederas hujan. Mataku memandang menebus kaca jendela di Bis berwana biru itu, menghayati setiap jengkal episode dalam hidupku yang tengah dihadiahkan sang Maha Esa untukku. “Tuhan, aku titip mereka padaMU. Kuatkan hamba dalam peranku yang berani ini! KAU adalah satu-satunya DZAT yang Maha tahu. Hamba yakin, ini adalah yang terbaik…” do’a kudusku terucap memecahkan keheningan. unpam14 Maret 2011, tepatnya hari Senin di pukul 7.30 Waktu Indonesia Bagian Pamulang-Tangsel, Banten. Aku, dengan peranku sebagai Mahasiswa Baru kala itu, berbanjirkan keringat disaat Gedung Kampus Pencakar Langit itu tak mampu aku kendalikan “Huh, aku tersesat…”. Diluar lobi dekat ruangan yang menuju Lab. Bahasa (sekarang Lab.Komputer) berdiri seorang gadis berjilbab dengan gincu dibibirnya yang berwarna merah menyala. Mungkin, dialah orang pertama yang aku jumpai dari sekian ribu Mahasiswa baru yang berlalu lalang didepanku, “hmmm, maaf Mbak, bolehkah saya menanyakan sesuatu???…” tanyaku pada gadis itu. “Iya, ada apa ya???” begitulah jawabnya singkat dengan matanya terus -meraba- penampilanku dari atas sampai bawah. “hmmm, saya Mahasiswa baru, Mbak! Hmmm, tapi saya gak tahu kelas saya dimana. Mungkin Mbak bisa bantu???” tanyaku lagi. “Emang Lu anak Fakultas apa???” jawab dia sekenanya. “Sastra Inggris, Mbak! Tepatnya kemarin itu saya ikut Test di gelombang kedua” tempasku lagi. “Aduh gua gak tahu ya, mending Lu cari aja sendiri dah! Sebenarnya sih gua juga anak baru di Sastra Inggris kaya Lu. Tapi, ingat ya jadwal Test masuk Lu dan Gua sangat berbeda, karena Gua ikut test digelombang pertama, sorry ya!” jawab ketusnya berlalu melengkapi kekatroanku kala itu. “tapi, Mbak! Bisa bantu tunjukin lokasi fakultasnya dimana kaaaannnn???…..” teriakku pada gadis itu yang berlalu meninggalkanku sendiri. “Hmmm, jangan menyerah, Piiiippp…”. begitulah celotehku menguatkan diriku yang mulai labil. Mungkin, inilah wujud orang yang tinggal di kota besar. Tapi, aku juga paham mungkin itu adalah bentuk kehati-hatian dari seseorang yang sama sekali tak dikenalnya. “ok Fix! Go for it, Piiippp!!!”. Celotehku lagi. sedihEntah sudah berapa lorong kelas yang aku telusuri, dan entah berapa juta anak tangga yang aku tapaki kala itu. Yang jelas, aku sudah benar-benar ada dititik yang sangat menghawatirkan. Baju biru yang aku kenakan kala itu tak lagi kering dan wangi seperti biasanya, karena keringat yang tengah meluap-luap menjadikannya basah bercampur bau jejak kelelahan yang tak terbantahkan lagi “Owhh, My God!!!” teriaku disaat kucium baju andalanku itu berubah aroma seburuk Neraka eheheh. Dalam titik ini, aku yakin Tuhan telah menguji kesabaranku. Hingga akhirnya, ada Dosen mungil yang memanggilku dengan sebutan -Mas-. “heiii, Maaasss! Siniiii!!! Capek banget kelihatannya! Kenapa?” tegur sang Dosen padaku. Dari situ, aku bercerita panjang lebar seperti halnya teman karib bertemu dengan sohibnya yang enak diajak CURHAT, Dosen itu terkenal dengan sebutan Ibu Puji, yang waktu itu juga mengajar di kelasku di jam kedua. “Owh, begitu. Kasihan banget kamu. Yaudah, saya juga ngajar dikelasmu. Ini kasih ke dosenmu yang tengah mengajar di kelasmu dilantai 4 no R. 408 B. sudah sanaaaa!!!” jelasnya panjang lebar. “Hmmm, i..ii…iya…iya..Ibu te…rimaa…kasiiihhh” tempasku sedikit terbata-bata dan sedikit tak percaya dengan “Mukjizat” yang dihadiahkan Tuhan disaat aku ada dalam kondisi hampir -menyerah-. “Huh, ternyata ini kelasnya! Tuhan memang Luar Biasa!” rasa syukurku sambil membaca urutan nama-nama mahasiswa yang terpampang nyata di dinding kelas yang terasa -seABAD- untuk mencarinya. “Alhamdulillah, ini dia namaku, NYANYANG APIP, dengan NIM: 2011060100. Iyessss….”, responku dengan girangnya. P1120050“Tok…Tookk…Toookkk…” bunyi pintu setengah teransfaran yang aku ketuk kala itu membuyarkan keakraban yang mulai tercipta diantara dosen dan para mahasiswa barunya. “Come in, please! Who’s knocking the door???” suara seorang Dosen perempuan dengan bahasa Inggrisnya yang tersusun begitu apik. Huh, pantas saja dia adalah Dosen Grammar 1 yang mengajarku kala itu. Dia akrab dipanggil Mss. Nia. “Hmmm, Cuantikkk tenannn Mas Brooo!!!.” Gumamku sedikit menelan ludah. “well, how sorry I am for coming late, Mss! Really, it’s not my wish. Yeah, I got lost then! More, Sorry!” jawabku dengan bahasa Inggrisku yang masih belepotan tak karuan ahahaha. “never mind, hmmm, would you please introduce yourself for us!” perintah Dosen cantik itu tiba-tiba. “well, NOW???” responku kaget dengan penegasan di kata -NOW- yang khas dengan logat sundaku yang masih kental. “yes, please!!!” tegasnya lagi tanpa iba melihat kondisiku yang tengah terjajah oleh butanya informasi tentang Kampus Baruku yang megah itu, mungkin hal ini dia lakukan karena waktunya hampir selesai. “Hmmm, Ok, I’ll try to do it”. Jawabku dengan helaan nafas yang tak lagi stabil. Dalam keberanianku memperkenalkan diri. Di pojok paling belakang, aku dapati seorang gadis dengan warna gincu merah menyala yang masih sama seperti waktu pertama kalinya aku lihat dari gadis berjilbab di lobi dekat Lab Bahasa beberapa waktu sebelumnya, tentunya bagiku wajah juteknya tak asing lagi. Kala itu, dia tengah tersenyum geli melihat polahku dengan alasan yang masih teka-teki sampai saat ini. “Huh, sialan, ternyata dia benar-benar sekelas denganku! Tega banget dia menelantarkan pemuda tampan yang akrab dipanggil –Choky Sitohang- ini” naluri jahatku sempat mampir kala itu (Hmmm, LEBAY dah Pip eheheh…). setelah perkenalan itu, aku baru tahu nama gadis berjilbab itu, yang tak lain menjadi teman nongkrongku bersama yang lainnya di Kantin paling penomenal, yaitu kantin “Hanny”. Iya, dia bernama Irawati Fajeri alias Dore sang Orator ulung yang Nama besarnya tengah diabadikan di seantero kampus berlantai sembilan itu eheheh…mungkin, dengan alasan itu pulalah waktu kuliahnya selalu terbagi dengan aktifitasnya yang ketat seketat -SILET-, Loh, kok gak pas ya eheheh…(becanda). it's mine4Hari demi hari aku lalui bersama teman-teman baruku yang mulai akrab, tepatnya hampir 40 Mahasiswa yang berlomba menjadi Number One di kelasku saat itu. Namun, seiring seleksi alam, mereka satu per satu menyerah dan berhenti tanpa kabar yang jelas. Begitupun para Dosen yang sangat Luar Biasa dengan ilmu dan pengalamannya yang terus dibagi di setiap harinya untuk kami. Semester demi semesterpun kami lalui dengan penuh suka cita. Iya, bersama teman-temanku yang tersisa karena seleksi alam itu. Dari pengalaman ini, aku pribadi banyak belajar tentang MEREKA, orang-orang hebat it's mine11yang selalu tertawa memecahkan setiap keheningan disetiap kelas yang silih berganti kami jelajahi tahun ke tahunnya. Konflik, tentunya selalu menghiasi perjalanan kami. Dari konflik yang sepele sampai konflik pemukulan yang dilakukan “Orang Gila” pun pernah menghiasi hari-hariku bersama mereka. Sungguh, keluarga baru ini sangat sulit untuk dilupakan. Aku banyak mendapatkan ilmu dari mereka, banyak pengalaman yang indahnya mengalahkan kegelamoran seorang tokoh –SYAHRINI- dalam perannya di layar kaca yang selalu mahal tak ternilai dengan nominal uang manapun. “hmmm, kalian hebat, my Excellent classmates!”. P1120009Sampai pada akhirnya, di 27 November 2014, perjalanku bersama mereka harus berkahir dengan penuh haru. Aku yang dulu, mungkin, dipandang sebelah mata oleh mereka. Lahir dengan predikatku sebagai Mahasiswa Terbaik di WISUDA angkatan 16 di Universitas Pamulang dari Fakultas Sastra Inggris. Ucapan selamatpun tak henti-hentinya berdatangan dari mereka, bahkan kado teristimewapun mereka sisipkan di gemuruhnya lalu lalang jutaan orang yang berbahagia kala itu. Hingga akhirnya, aku titipakan satu pesan singkat via sms untuk mereka mengakhiri kehadiranku untuk terakhir kalinya: “Jika waktu sudah tak kuasa menyatukan kita, biarkanlah kenangan suka dan duka diantara kita yang menjaga dan menyampaikan rindunya. Sungguh, tidak mudah bagiku untuk membuat cerita baru tanpa kalian, kawan. Sudah begitu banyak episode suka dan duka yang kita lalui bersama. Hanya rasa syukur dan ucapan terima kasih yang bisa aku ucapkan saat ini. Pada kalian orang-orang hebat yang sangat menginspirasi:: -terima kasih untuk kebersamaan yang sangat indah ini, aku pamit ya kawan! Doakan aku semoga menjadi pribadi yang jauh lebih baik lagi setelah ini. Begitupun kalian, semoga senantiasa kompak dan sukses mewujudkan segala mimpi-mimpinya. Aku tunggu kabar kalian dihari kemenangan seperti WISUDA ku ini. I am so content with you, guys. Thanks for your trust, support, and beautiful experiences. I’ll miss all about you, guys. More, thanks!”. Ucapan terakhirku terkirim secepat kilat dari ponsel jadulku yang sudah tiga setengah tahun menemani adrenalinku menggapai gelar Strata Satu di fakultas Sastra Universitas Pamulang. DCIM100MEDIADalam pangkuan kedua orang tuaku yang hanyut dalam air mata kebahagiaan, pada akhirnya, aku berhasil mewujudkan mimpiku untuk menghadiahkan mereka kabar terbaik yang tak akan terlupakan sampai kapanpun. “Ma, Pak! Ini putramu yang dulu pergi, kini dia gagah dalam balutan kostum sarjananya yang membanggakan! Terima kasih untuk cinta dan do’a kalian selama ini! Aku dedikasikan gelar dan penghargaan ini untuk kalian, orang-orang hebat yang tak akan pernah berakhir kasih dan sayangnya. Sekali lagi terima kasih banyak. Tanpa kalian, apalah arti semua ini. Bersama do’a dan kepercayaan yang kalian berikanlah, aku mampu membantahkan mitos ketidak sanggupan itu. More, Thanks so much to my beloved family as well. With you, I can face every hard circumstance in my long journey. Here, God is the best that guides my paths. More, love you all!”. Lirihku diakhir pesta Wisudaku kala itu. P1120047“ahahahah, I’m so hapiiiiiiiiiiiii…………………………..Thanks so much to My Allooooooooooooooooohhhhhhhh……………………”. teriakku lagi menyambut kemenanganku yang sangat LUAR BIASA itu. “see you later, mates! You are EXCELLENT!.” NOTE: Photo berdua itu sebagai bukti Orang yang pertama kali aku jumpai yaitu Irawati Fajeri alias DORE.  By: @apip_ON alias Nyanyang Apip